Penghapusan tagih bukan berarti utang debitur langsung lunas begitu saja. BRI tetap melakukan upaya penagihan, namun secara akuntansi, kredit yang sudah macet dalam jangka waktu tertentu dihapus dari pembukuan agar tidak membebani laporan keuangan. Hal ini juga bertujuan agar bank bisa lebih fokus pada penyaluran kredit baru kepada pelaku usaha yang masih berpotensi berkembang.
Sebagai bank yang fokus pada segmen UMKM, BRI memiliki portofolio kredit mikro yang sangat besar. Dengan jumlah debitur yang mencapai jutaan, risiko kredit macet pun lebih tinggi dibanding bank lain. Oleh karena itu, penghapusan tagih menjadi salah satu strategi manajemen risiko yang wajar dilakukan oleh perbankan. Namun, hal ini juga menimbulkan pertanyaan, apakah kebijakan ini justru akan membuat moral hazard di kalangan debitur, yakni munculnya anggapan bahwa utang bisa diabaikan karena suatu saat bisa dihapus?
Di sisi lain, penghapusan tagih dalam jumlah besar juga bisa memengaruhi kepercayaan investor dan pemegang saham terhadap kinerja bank. Meski BRI tetap mencatatkan keuntungan, penghapusan tagih yang tinggi bisa menjadi sinyal adanya tantangan dalam menjaga kualitas kredit. Namun, selama bank memiliki cadangan pencadangan yang cukup dan strategi mitigasi risiko yang kuat, dampak negatifnya bisa diminimalisir.
Ke depan, BRI diharapkan tetap menjaga keseimbangan antara ekspansi kredit dan pengelolaan risiko kredit macet. Pemerintah dan otoritas keuangan juga perlu memastikan bahwa kebijakan ini tidak disalahgunakan oleh oknum yang sengaja tidak membayar utang. Bagi UMKM yang masih berjuang, kebijakan ini bisa menjadi angin segar, tetapi juga menjadi pengingat bahwa keberlanjutan usaha lebih penting daripada sekadar bergantung pada keringanan kredit.